Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Ads

Syarah Kitab Al Mulakhos Al Fiqhiy : BAB - Mahar Pernikahan & Walimatur 'Urs | Buya Muhammad Elvi Syam, Lc. MA


Kaum muslimin dan muslimat, rahimani wa rahimakumullahالحمد لله, kita memuji dan memuja Allah atas segala nikmat dan karunia yang Allah limpahkan. Selawat beriring salam semoga dianugerahkan oleh Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلماللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ.


Menyambung kajian kita pada pertemuan sebelumnya tentang mahar, kemudian kita lanjutkan tentang walimah.


Ringkasan Pembahasan Mahar


Kita sudah mengambil beberapa poin dan hal-hal penting yang berhubungan dengan mahar.

Pertama, إِنَّ الصَّدَاقَ مِلْكٌ لِلْمَرْأَةِ (bahwasanya mahar itu adalah milik penuh bagi perempuan atau istri yang dinikahi). Walinya tidak berhak sedikit pun terhadap mahar tersebut (لَا حَقَّ لِوَلِيِّهَا مِنْهُ شَيْءٌ), إِلَّا مَا سَمَحَتْ بِهِ لَهُ مِنْ طِيبِ نَفْسِهَا (kecuali apa yang dia izinkan atau berikan dengan sukarela dan hati yang bersih). Namun, ada kekhususan bagi ayah, di mana ia boleh mengambil dari mahar putrinya walaupun tanpa izin, dengan syarat مَا لَمْ يَضُرُّهَا وَلَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ (selama hal itu tidak merugikan putrinya dan putrinya tidak sedang membutuhkannya). Ini didasarkan pada sabda Nabi صلى الله عليه وسلم, “أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ” (Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu).


Kedua, seorang wanita mulai memiliki maharnya itu semenjak akad (يَبْدَأُ تَمَلُّكُ الْمَرْأَةِ صَدَاقَهَا مِنَ الْعَقْدِ), sebagaimana yang terjadi dalam jual beli. Kepemilikan itu menjadi sempurna dan utuh apabila telah terjadi hubungan badan, atau sudah berduaan dalam khalwat, atau karena meninggalnya salah seorang di antara pasangan suami-istri tersebut.


Ketiga, apabila seorang suami mentalak istrinya sebelum berhubungan badan atau sebelum berkhalwat, sedangkan maharnya telah ditentukan jumlahnya saat akad, maka sang istri berhak mendapatkan separuh dari mahar tersebut (فَلَهَا نِصْفُهُ). Sebagaimana firman Allah, apabila kalian mentalak istri sebelum bercampur dengannya dan telah menentukan mahar, maka bayarlah separuh dari mahar yang telah ditentukan itu. Artinya, mahar itu dibagi dua antara suami dan istri. Namun, jika salah satu pihak memaafkan atau menggugurkan haknya, maka hal itu dibolehkan, dengan syarat ia adalah orang yang cakap hukum untuk bertransaksi. Allah سبحانه وتعالى sangat memotivasi untuk saling memaafkan dalam hal ini: “وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى، وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ” (Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat dengan takwa. Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian). Ini adalah bimbingan agar kedua pasangan bertoleransi dan tidak terlalu berkutat dalam perhitungan, mengingat sudah terjalin hubungan baik di antara mereka melalui akad nikah.


Keempat, setiap pemberian yang diterima oleh pihak wanita atau keluarganya yang disebabkan oleh pernikahan, seperti pakaian untuk ayah atau saudaranya, maka itu dianggap bagian dari mahar. Ini berarti hantaran dan pemberian sejenisnya termasuk dalam bagian mahar, tidak hanya yang disebutkan secara eksplisit saat akad. Jika mahar yang disebut adalah seperangkat alat salat, namun hantarannya berupa satu unit mobil baru, maka mobil itu adalah bagian dari mahar.


Kelima, jika mahar yang diberikan ternyata adalah harta rampasan atau curian, atau barang haram lainnya, pernikahannya tetap sah. Akan tetapi, suami wajib menggantinya dengan مَهْرُ الْمِثْلِ (mahar yang setimpal) sebagai pengganti dari mahar yang haram tersebut.


Keenam, jika akad nikah terjadi tanpa menyebutkan mahar, nikahnya tetap sah. Kondisi ini dinamakan dengan تَفْوِيض (penyerahan). 


Dalam situasi ini, maka akan ditaksir atau ditentukan mahar yang setimpal baginya, yang dikenal dengan مَهْرُ الْمِثْلِ. Penentuan مَهْرُ الْمِثْلِ ini dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Hakim akan menaksirnya dengan membandingkan mahar wanita-wanita yang setara dengannya, dimulai dari kerabat terdekatnya seperti ibu atau bibi (أُمِّهَا أَوْ خَالَاتِهَا وَعَمَّاتِهَا). Penilaian ini juga mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti status harta, kecantikan, tingkat pendidikan (akal), adab, umur, serta status perawan atau janda. Jika ia tidak memiliki kerabat dekat, maka perbandingannya adalah wanita-wanita yang setara dengannya di negerinya.


Ketujuh, jika terjadi perceraian sebelum dukhul (berhubungan badan) pada pernikahan yang maharnya tidak ditentukan (tafwid), maka sang istri tidak mendapat mahar, namun ia berhak mendapatkan مُتْعَةمُتْعَة adalah pemberian dari mantan suami untuk membesarkan hati istri yang diceraikan, sebagai “paubik hati”. Besarnya disesuaikan dengan kemampuan suami, baik kaya maupun miskin. Namun, jika perpisahan itu disebabkan oleh kematian salah satu pihak sebelum dukhul, maka sang istri berhak atas مَهْرُ الْمِثْلِ secara penuh dan juga hak waris. Hal yang sama berlaku jika telah terjadi khalwah (berduaan di dalam kamar), maka istri berhak mendapatkan mahar semisal yang utuh, sebab para Khulafa Ar-Rasyidin menetapkan: “أَنَّ مَنْ أَغْلَقَ بَابًا أَوْ أَرْخَى سِتْرًا فَقَدْ وَجَبَ الْمَهْرُ” (Orang yang sudah menutup pintu atau menurunkan tabir, maka sudah wajib mahar baginya).


Bab Walimatul ‘Urs


Kita masuk kepada bab yang kedua, بَابٌ فِي وَلِيمَةِ الْعُرْسِ. Secara bahasa, asal kata walimah adalah dari kesempurnaan dan berkumpulnya sesuatu. Makna ini kemudian secara khusus digunakan untuk menamakan jamuan pernikahan (طَعَامُ الْعُرْسِ) karena pada momen itulah terjadi berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan.


Hukum وَلِيمَةُ الْعُرْسِ adalah سُنَّةٌ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ الْعِلْمِ (sunah berdasarkan kesepakatan ulama), meskipun sebagian ada yang berpendapat wajib karena adanya perintah dari Nabi dan kewajiban untuk memenuhi undangannya. Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda kepada Abdurrahman bin ‘Auf, “أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ” (Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing). Waktu pelaksanaannya cukup longgar, dimulai dari setelah akad nikah hingga berakhirnya hari-hari pernikahan. Mengenai ukurannya, tidak ada batasan khusus. Boleh dengan seekor kambing atau lebih, namun boleh juga dengan hidangan yang lebih sederhana. Sebagaimana Nabi pernah mengadakan walimah untuk Shafiyyah hanya dengan حَيْس (sejenis adonan kue dari tepung, minyak samin, dan gandum). Ini menunjukkan sahnya walimah walaupun tanpa menyembelih kambing.


Yang terpenting adalah tidak berlebih-lebihan (لَا يَجُوزُ الْإِسْرَافُ) dalam walimah, seperti yang banyak terjadi saat ini dimana makanan melimpah hingga akhirnya terbuang sia-sia ke tong sampah. Perbuatan ini dilarang oleh syariat dan akal sehat, serta dikhawatirkan dapat mendatangkan sanksi dari Allah dan hilangnya nikmat. Terlebih lagi jika walimah tersebut diiringi dengan kemungkaran seperti kesombongan, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan, serta musik-musik yang tidak syar’i. Hendaklah orang yang melakukannya bertakwa kepada Allah dan khawatir akan akibat buruknya.


Menghadiri undangan walimah hukumnya wajib jika syarat-syaratnya terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:


  1. Undangan tersebut adalah untuk walimah yang pertama. Hadis menyebutkan bahwa walimah hari pertama adalah hak, hari kedua adalah kebaikan, dan hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah.

  2. Yang mengundang adalah seorang muslim.

  3. Yang mengundang bukanlah pelaku maksiat secara terang-terangan yang semestinya di-hajr (ditinggalkan/diboikot).

  4. Undangan tersebut ditujukan secara khusus kepada dirinya (bukan undangan umum).
  5. Tidak ada kemungkaran di dalam acara walimah tersebut, seperti adanya khamar atau musik yang diharamkan.


Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka wajib untuk hadir. Nabi bersabda bahwa seburuk-buruk makanan adalah hidangan walimah yang orang miskin dilarang datang sementara orang kaya yang tak mau datang justru diundang. Dan, “مَنْ لَا يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ” (Siapa yang tidak memenuhi undangan, sungguh dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya).


Terakhir, dianjurkan untuk mengumumkan pernikahan (أَعْلِنُوا النِّكَاحَ) untuk menampakkannya kepada khalayak. Hal ini untuk membedakannya dari perbuatan zina yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nabi bersabda, “فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الصَّوْتُ وَالدُّفُّ فِي النِّكَاحِ” (Pembeda antara yang halal dan yang haram adalah suara dan pukulan rebana dalam pernikahan). Maksud dari duff (rebana) ini adalah untuk dimainkan oleh para wanita di kalangan mereka sendiri, bukan ditampilkan di hadapan laki-laki.


Sesi Tanya Jawab


Tanya: Apakah mentahdzir (memperingatkan) dari seorang ustaz yang pemikirannya dianggap syubhat atau bid’ah (misalnya menghalalkan musik) termasuk ghibah?

Jawab: Mentahdzir orang yang dikhawatirkan bahaya pemikirannya tidak termasuk ghibah, bahkan termasuk dalam kebaikan. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa ghibah tidak berlaku dalam enam kondisi (لَيْسَ الْغِيبَةُ فِي سِتَّةٍ), salah satunya adalah الْمُحَذِّرُ (orang yang memberi peringatan). Tujuannya adalah untuk mengingatkan orang lain agar waspada. Jika tujuannya untuk peringatan, maka harus disampaikan hal-hal yang perlu diwaspadai tanpa mencampurnya dengan pujian yang dapat melemahkan kekuatan peringatan itu sendiri.


Enam kondisi yang dikecualikan dari ghibah tersebut adalah:

  1. المُتَظَلِّمُ (Orang yang dizalimi saat melapor untuk meminta keadilan).
  2. المُعَرِّفُ (Orang yang memperkenalkan seseorang dengan julukan yang dikenal, meskipun julukan itu cacat, dengan tujuan untuk identifikasi bukan menghina).
  3. المُحَذِّرُ (Orang yang memperingatkan kaum muslimin dari keburukan seseorang).
  4. مُجَاهِرٌ بِفِسْقٍ (Menyebutkan kefasikan orang yang melakukannya secara terang-terangan).
  5. المُسْتَفْتِي (Orang yang meminta fatwa, seperti Hindun yang mengadukan kekikiran suaminya, Abu Sufyan, kepada Nabi).

  6. Orang yang meminta bantuan untuk menghilangkan sebuah kemungkaran.


Tanya: Bagaimana hukumnya mengadakan walimah sampai menutup jalan dan bagaimana sikap kita? Apakah orang yang dirugikan doanya akan terkabul?


Jawab: Jalan adalah hak publik dan tidak boleh ditutup. Nabi صلى الله عليه وسلم mengajarkan hak-hak jalan, di antaranya adalah كَفُّ الْأَذَى (tidak mengganggu atau menyakiti). Menutup jalan dengan tenda, meskipun mendapat izin dari pihak tertentu, tetap termasuk mengganggu hak semua orang. Jika ada yang terganggu lalu ia berdoa (keburukan) atas penyelenggara acara, dan doanya dikabulkan, maka yang akan merugi adalah orang yang mengadakan walimah tersebut.


Tanya: Masjid agung di kota kami sering menyewakan lantai dasar untuk acara walimah yang ada musiknya. Bagaimana hukum salat di lantai atas pada saat acara seperti itu berlangsung?


Jawab: Salat di masjid tersebut tetaplah sah karena itu adalah hak utama masjid. Seharusnya, acara walimah itu yang dihentikan saat waktu salat tiba. Namun, pada dasarnya mencampuradukkan tempat yang diberkahi oleh Allah dengan acara yang mengandung maksiat adalah hal yang tidak boleh dilakukan.



Baca Juga

Top Post Ad

Below Post Ad

Mari bergabung bersama WA Grup dan Channel Telegram Surau TV, Klik : WA Grup & Telegram Channel

Bottom Post Ads

Copyright © 2025 - Surau TV | All Right Reserved